date Selasa, 25 Mei 2010

date


Secara fisiologik selaput foetus tanggal dalam waktu 3 sampai 8 jam pospartum. Apabila selaput tersebut menetap lebih lama dari 8 sampai 12 jam, kondisi ini dianggap patologik dan terjadilah retensio secundinae. Pada dasarnya retensio secundinae adalah kegagalan pelepasan villi kotiledon foetal dari kripta karunkula maternal. Pada retensio secundinae pemisahan dan villi foetalis dari kripta maternal terganggu dan terjadi pertautan. Retensio secundinae sebenarnya adalah suatu proses kompleks yang meliputi pengurangan suplai darah diikuti oleh penciutan struktur-struktur placenta maternal dan foetal, perubahan-perubahan degeneratif, dan kontraksi uterus yang kuat.

Infeksi uterus selama kebuntingan dapat menyebabkan retensio secundinae. Jasad-jasad renik seperti Brucella abortus. Tuberculosis, Campylobacter foetus dan berbagai jamur menyebabkan placentitis dan kotiledonitis yang mengakibatkan abortus atau kelahiran patologik dengan retensio secundinae. Agen-agen penyakit ini dan mikroorganisme lain yang menyebabkan abortus dan kelahiran prematur dapat menyebabkan pula endometritis, placentitis, dan retensio secundinae.

Retensio secundinae terjadi pada 69 % sapi dari suatu kelompok ternak tersebut yang diberikan makanan dengan kadar karotin yang. Avitaminose-A menyebabkan hiperkeratosis, metritis abortus dan retensio secundinae. Kemungkinan besar vitamin A perlu untuk mempertahankan kesehatan dan resistensi epitel uterus dan plasenta. Kadar vitamin A yang rendah memudahkan terjadinya infeksi.

Kelemahan dan atoni uterus karena berbagai penyakit dapat menyebabkan retensio secundinae. Penyakit-penyakit tersebut adalah penimbunan cairan di dalam selaput foetus, torsio uteri, kembar, monstrositosis, distokia dan kondisi patologik lainnya. Retensi plasenta biasanya berhubungan dengan kesulitan kelahiran, twins, stillbirth, kegemukan

Gejala retensio secundinae cukup jelas, yaitu sebagian selaput foetus menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah kelahiran normal, abortus atau distokia. Kadang-kadang selaput foetus tidak keluar melewati vulva tetapi menetap di dalam uterus dan vagina. Pemeriksaan terhadap selaput foetus sebaiknya dilakukan sesudah partus untuk mengetahui apakah terjadi retensio atau tidak. Pemeriksaan melalui uterus harus dilakukan dalam waktu 24 sampai 36 jam postpartum. Sesudah 48 jam biasanya sulit atau tidak ada selaput foetus di dalam cervix. Adanya selaput foetus di dalam cervix cenderung menghambat kontraksi cervix. Pada kasus yang berat, retensio secundinae dapat disertai dengan mastitis, metritis septik, perimetritis, peritonitis, vaginitis nekrotik, paresis pueruralis dan acetonameia. kasus ikutan dari retensi ini adalah metritis kalau diserta dengan darah dan berbau busuk kami menyebutnya metritis akut. jika menjadi cairan kuning keputihan (nanah) tidak berbau, kami menyebutnya metritis kronis

Berbagai cara dan sarana telah dipakai untuk menangani retensio secundinae. Cara yang masih populer di kalangan dokter hewan praktek adalah menyingkirkan selaput foetus secara manual dan memberikan obat seperti antibiotika dan preparat hormon. Walaupun selaput foetus sudah dapat dilepaskan dalam waktu 12 sampai 24 jam sesudah partus, tetapi terbaik dilakukan sesudah 24 jam sesudah partus, tetapi terbaik dilakukan sesudah 24 jam sampai 48 jam postpartus. Pelepasan secundinae sebaiknya jangan dilakukan sebelum 72 jam sesudah partus, kecuali apabila terjadi anorexia, peningkatan suhu tubuh atau gejala septikemia yang lain. Pada saat itu umumnya uterus sudah berkontraksi sehingga apeks dapat terjangkau. Cervix biasanya masih membuka dan tangan dapat dimasukkan ke uterus tanpa menimbulkan trauma. Kapan pun waktunya, penyingkiran plasenta harus dilakukan secara halus dan cepat dalam waktu 5 sampai 20 menit dengan cara higienik dan frekuensi pemasukkan dan pengeluaran tangan sesedikit mungkin. Anastesi epidural sangat membantu mencegah pengejanan dan defekasi. Apabila kedapatan bahwa cervix sudah menutup dan pelepasan plasenta sulit dilakukan, sebaiknya dibiarkan saja, jangan dipaksakan, dan hanya dapat diberikan preparat antibiotika dan hormon (Robert, 1971).

Pelepasan plasenta foetalis dilakukan dengan menempatkan tangan diantara endometrium dan chorion di ruang interkotiledoner dan kotiledon foetal serta karunkelnya dipegang secara individual, ditekan, dan dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua struktur itu dipisahkan secara hati-hati dengan gerakan menggulung, mengupas, mendorong dan menekan. Gerakan ini dibantu dengan tarikan oleh tangan yang lain terhadap selaput foetus yang terdekat. Kotiledon dekat dengan cervix dilepaskan terlebih dahulu dari karunkel dan dengan tangan lain dari luar plasenta ditegangkan sewaktu pelepasan serta pengupasan kotiledon diteruskan ke bagian tengah cornue uteri mendekati cervix dan membantu pelepasan kotiledon di daerah tersebut. Semua selaput foetus harus dikeluarkan secara keseluruhan tanpa meninggalkan sisa di dalam uterus karena dapat berfungsi sebagai tempat infeksi.

Preparat-preparat hormon telah dipakai secara meluas pada pengobatan retensio secundinae. Penyuntikan oxytocin segera sesudah partus akan mencegah terjadinya retensio. Manfaat pemberian hormon ini sesudah 24 sampai 48 jam postpartum masih menjadi tanda tanya. Estrogen mempengaruhi uterus dengan meningkatan tonus dan aktivitas muskulernya, serta relaksasi cervix. Di samping itu uterus di bawah pengaruh estrogen dapat lebih mengatasi infeksi.

Pemberian preparat antibiotika berspektrum luas seperti Oxytetracyclin (Terramycin), Chlortetracyclyn (Aureomycin) atau Tetracyclin kini terbukti lebih efektif bila diberikan secara lokal intrauterin dibandingkan dengan penicillin, streptomycin atau preparat-preparat sulfa. Preparat antibiotika berspketrum luas dalam berbagai nama kini dapat diperoleh di pasaran. Antibiotika tersebut diberikan dalam jumlah satu sampai 3 gram di dalam larutan 100 sampai 300 ml air suling atau NaCl fisiologik. Dapat pula diberikan dalam bentuk bolus.

Beberapa pendapat mengatakan retensi plasenta biasanya setelah 5 hari bisa dilepas pelan-pelan dari luar. Bila terjadi demam dan gejala infeksi lain, terapi dengan Oxytetracyclin 100 mg, 20 ml selama minimal 3 hari. Oxitocyn segera setelah melahirkan tidak banyak membantu.. Intervensi berlebihan malah akan berisiko meningkatkan terjadinya infeksi lebih lanjut. pengelupasan kotiledon pada kasus retensi placenta tidak menguntungkan karena justru akan memperbesar perlukaan pada uterus dan meningkatkan resiko infeksi berikutnya. pengelupasan itu akan memperpanjang wktu untuk berahi pertama (normal di indonesia 2-3 bulan, jika terjadi retensi plasenta bisa 4-5 bulan). lebih aman dengan memberikan antibiotik intrauterin dan biasanya dalam waktu 1 minggu infeksi akan berkurang. dengan cara ini, waktu berahi pertama akan lebih pendek 1 -2 siklus dibanding pengelupasan.
 
 * Diambil dari berbagai sumber

date Senin, 24 Mei 2010


date Minggu, 16 Mei 2010